Selasa, 16 Juni 2015

Fenomena Kebebasan Berpendapat di Indonesia

Artikel ini cuma opini penulis sendiri saja. Dan jika ingin berdiskusi silahkan saja. Berdiskusilah dengan bijak, saya tidak melarang memberikan kritik dan masukkan, selama menggunakan kata-kata santun dan beretika.

Freedom of speech atau kebebasan berpendapat adalah hal yang masih baru bagi masyarakat Indonesia. Kebebasan berpendapat sudah diperjuangkan oleh para aktivis-aktivis pada jaman orde baru, sebagai bentuk kritik dan masukkan kepada pemerintah. Tetapi, pemerintah saat itu sangat membatasi para pemberi pendapat ini. Bahkan beberapa sudah tidak terdengar kabarnya lagi setelah memberikan pendapat kepada pemerintah saat itu. Baru pada tahun 1998, setelah runtuhnya jaman orde baru ini, barulah kebebasan berpendapat mendapat tempat di masyarakat dan pemerintahan, sebagai cara untuk memberikan masukkan dan mendengarkan apa keinginan rakyat. Setiap orang bebas memberikan kritik dan masukkan untuk pemerintah atau siapa pun, bahkan di beberapa media diberikan tempat khusus untuk suara para pembaca.

Oleh karena itu, kebebasan berpendapat di Indonesia masih bisa dibilang ABG, masih seumur jagung. Dan bodohnya orang Indonesia, terlalu cepat berpuas diri. Ketika media asing memberitakan Indonesia sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia, segenap masyarakat Indonesia besar kepala dan tinggi hati. Setiap orang menganggap dirinya hebat dengan hal ini, mereka masing-masing memiliki akun di setiap media sosial yang ada. Facebook, twitter, instagram dan path adalah media sosial yang populer untuk mencetuskan pendapat masing-masing.

Salah kaprah pun terjadi disini, akun media sosial didukung dengan kebebasan berpendapat yang masih seumur jagung ini membuat para warga media sosial merasa punya hak untuk berkata seenak udelnya sendiri. Cacian, makian kepada seseorang. Bahkan mengunggah foto-foto asusila sekali pun mereka lakukan. Semuanya dengan alasan "bebas donk, akun punya gue, foto punya gue, kok lu yang sewot". Dan hal-hal negatif lainnya pun terjadi.

Dampaknya, ada anak yang ditangkap polisi dan dikatakan sebagai penyebar foto asusila Presiden Jokowi. Twitwar yang akhirnya "war" betulan benar-benar terjadi di GBK. Berita-berita negatif yang menyebar di Indonesia. Acara gosip, sinetron tidak bermutu, sampai acara hiburan yang ditonton anak-anak alay.

Semua orang bebas berpendapat, bebas berkarya tanpa memikirkan tanggung jawabnya, tanpa memikirkan dampaknya, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ini yang saya bilang masih seumur jagung, masih ABG. Kita tahu sendiri, anak kecil sampai anak ABG mana ada yang pernah memikirkan akibat perbuatannya. Sama seperti masyarakat Indonesia saat ini, kita bebas memberikan pendapat, tanpa mikirin apa sih dampaknya. Bebas ngomong kasar di media sosial. Bebas menulis artikel provokatif di blog, di koran, di forum. Ketika sudah terpublish, dan menjadi viral, kemudian menjadi hal-hal negatif dan menimbulkan kehebohan publik, mereka lepas tangan. Mereka beralasan itu adalah pendapat saya pribadi, terserah orang mau terima atau gak.

Contoh kasus, black campaign ketika pilpres 2014 kemarin. Banyak hal-hal yang tidak jelas ditampilkan oleh pendukung kedua calon. Ada yang bikin koran segala, sampai ada yang bikin pasukan cyber. Saya berpikir, kok ya sampai begini sih kondisi Indonesia. Kenapa masyarakat Indonesia begitu bodohnya sampai mau melakukan hal ini. Contoh yang terakhir akibat kebebasan berpendapat adalah heboh tutup warung saat bulan Ramadha tahun ini. Ini menurut saya hanya membuang-buang waktu dan energi untuk didebatkan dan dibahas. Sampai ada yang mengutip Alquran. Penulis adalah orang Islam, saya mengerti rukun-rukun Iman dan Islam, saya tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam Islam, dan alhamdulillah saat ini sudah dalam tahap Islam akan saya bawa sampai mati. Tapi ya ndak perlu juga sampai semua orang harus sama dengan kita. Dulu waktu jaman saya SD di sekolah Islam, kayanya warung-warung tuh masih buka dan memasang tirai penutup untuk menjaga yang sedang berpuasa. Jaman saya SD tuh tahun 1993-1999. Kenapa gk dari jaman itu aja udah ribut soal tutup warung ketika Ramadhan. Aneh menurut saya. Hal-hal yang tidak perlu diributkan kenapa sekarang jadi heboh sekali. Akibatnya, saat ini justru memecah masyarakat muslim menjadi 2 golongan. Penulis tidak mendukung salah satu opini, tetapi penulis hanya merasa heran, kenapa hal semacam ini bisa menimbulkan kehebohan. Salahnya dimana buka warung ketika puasa?

Kebebasan berpendapat seharusnya dilakukan dengan memikirkan pula dampaknya kepada masyarakat luas. Selama itu bermanfaat untuk masyarakat banyak, kenapa tidak? Semua itu kembali ke pribadi masing-masing untuk berpendapat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar